Administrator / 23 September 2020
INDONESIA BERPELUANG BESAR MENJADI PRODUSEN VAKSIN DAN KIT DIAGNOSTIK
Para ahli kesehatan di dunia sering menyebut Indonesia sebagai salah satu “hot spot” penyakit infeksius baru (Emerging Infectious Diseases) di dunia. Situasi ini tentu saja menjadikan kondisi di Indonesia sebagai “ancaman” bagi masyarakat, karena kemungkinan menjadi sumber munculnya penyakit infeksi baru yang dapat berakibat fatal bagi manusia.
Meski demikian, sampai saat ini belum diketahui penyakit infeksius baru yang awal kemunculannya dari Indonesia. Justru zoonosis seperti Antraks, Rabies, Leptospirosis, Bruselosis, dan lainnya selalu muncul setiap tahun.
Pernyataan ini diungkapkan oleh PB PDHI saat beraudiensi dengan Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI dalam audiensinya pada 9 September lalu.
Menurut PB PDHI, kejadian rabies setiap tahun terjadi dan mengakibatkan kematian manusia cukup banyak. Permasalahan ini yang di hadapi dunia Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat di Indonesia dan sudah seharusnya dapat ditangani secara lebih baik oleh tenaga ahli dari dalam negeri.
Kemampuan penyidikan penyakit hewan di dalam negeri juga semakin baik dilakukan oleh instansi pemerintah pusat khususnya melalui Balai besar/balai veteriner. Satf penyidikan ang semakin terdidik dan terlatih secara professional mendukung tugas mereka dalam menyidik dan menanggulangai terjadinya penyakit di lapangan.
Kehandalan para penyidik veteriner ini juga terlihat saat mulai merbaknya kasus African Swine Fever (ASF) di Indonesia pertengahan tahun 2019. Kemampuan diagnosis petugas Balai Veteriner sudah sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia di bidang veteriner tidak kalah dari luar negeri. Penelitian penyakit zoonotik juga telah banyak dilakukan oleh peneliti handal dari putra-putri bangsa sendiri.
Agen-agen etiologi dari Isolat lokal juga telah banyak dikoleksi dari hasil penelitian yang dilakukan. Lembaga penelitian nasional juga sudah ada yang memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penelitian terhadap agen penyakit zoonotic dan non zooonotik.
Hal-hal terebut merupakan asset bangsa yang sangat beharga dan dapat memberikan kontribusi tidak hanya dalam rangka penyidikan penyakit namun dapat dikembangkan pada hal-hal yang lebih produktif dan memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa.
Pengendalian zoonosis dan penyakit hewan non zoonotik di Indonesia masih sangat tergantung pada importasi alat diagnostik maupun vaksin dari luar negeri. Kondisi ini membebani proses produksi bagi dunia peternakan dan kesehatan hewan nasional sekaligus memposisikan negara pada ketergantungan pada produk luar negeri.
Contoh kasus saat mencukupi kebutuhan vaksin Rabies dalam pengendalian penyakit ini di Bali beberapa tahun yang lalu hingga saat ini, Indonesia masih sangat tergantung dari vaksin impor. Di sisi lain, isolat virus Rabies nasional sangat banyak dan dapat dikembangkan menjadi vaksin dan alat diagnostik sekaligus, hal ini juga didukung peneliti/pakar Rabies/virus di Indonesia yang memiliki kapabilitas menghasilkan vaksin maupun alat diagnostik.
Fasilitas untuk melakukan riset inovasi vaksin dan alat diagnosis Rabies di dalam negeri juga sudah layak. Indikasi terhadap hal-hal ini dapat dilihat dari hasil riset yang dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. Kelemahan yang muncul adalah tidak ada dukungan pemerintah khususnya untuk menindaklanjuti aktivitas riset tersebut hingga berhasil dihilirisasi menjadi produk yang dapat dipasarkan.
Kementerian Pertanian juga telah memiliki Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) sebagai unit produksi vaksin maupun alat diagnostik veteriner yang mampu menghilirasai produk penelitian yang ada.
Bercermin dari Pandemi Covid19, terlepas dari kegentingan dan bahaya penyakit ini, pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dapat belajar untuk memberikan dukungan semaksimal mungkin kepada bidang veteriner sehingga menghasilkan produk biologi yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dalam mengendalikan penyakit bahkan dapat menjadi produk eksport yang bernilai ekonomi tinggi.
Hal ini sangat mungkin diwujudkan di Indonesia, sehingga posisi Indonesia sebagai “hot spot” EID justru memberikan keuntungan bagi bangsa dalam mengendalikan zoonosis maupun non zoonosis yang ada di dalam negeri sekaligus mencegah muncul dan menyebarnya penyakit infeksi baru. Sangat di mungkinka Indonesia menjadi negara penghasil produk bilogi yang besar di kemudian hari. (aks)